Sebuah Catatan Terkait UU Cipta Kerja, Ari Bahari : Teknis Itu !!!

Oleh Ari Bahari, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS

JAKARTA – Akhirnya undang-undang cipta kerja sudah di tandatangani dan diberikan nomer oleh Presiden Jokowi, yang mana undang-undang tersebut bernomer 11 tahun 2020, Undang-udang Cipta Kerja ini banyak menyedot perhatian publik, semenjak pewacanaannya, proses dan kelahirannya kontroversi tidak urung pergi dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut, setelah jumlah halaman yang berubah-berubah yang menimbulkan polemic, kini setelah penomoran dan penandatanganan Undang-undang tersebut ternyata Undang-undang tersebut masih banyak kesalahan-kesalahan yang bersifat administrasif, yakni dalam hal penulisan dan isi dari Undang-undang tersebut yang tidak sinkron.

Kita ambil contoh yang mencolok adalah pada pasal 6 yang menjelaskan pasal 5 ayat 1a dimana pada pasal lima tersebut tidak tertera ayat 1a-nya, pasal 151 ayat 1 yang merujuk kepada pasal 141 huruf b, dimana pasal tersebut tidak memiliki ayat dan masih banyak lagi yang merupakan kesalahan – kesalahan elementer dalam Undang-undang Cipta Kerja.

Dikutip dari siaran pers yang dikeluarkan oleh mentri sekretaris Negara Pratikno “Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,”.

“Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi, selanjutnya menurut Pratikno Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis.

Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikan nya,”. Kredibilitas Pemerintah dan Negara Di Pertaruhkan
Ditengah arus besar penolakan Undang-undang Omnibus Law ini, pemerintah dalam hal ini Jokowi sebagai presiden tidak bergeming untuk membatalkan atau mengeluarkan Perpu pengganti Undang-undang yang banyak di suarakan oleh Masyarakat Sipil (civil society), namun di tengah arus penolakan tersebut seperti yang sudah saya katakana diatas banyak kesalahan-kesalahan elementer yang dilakukan oleh pemerintah, setelah lembaga legislatif melakukan akrobatik sekarang bola panas tersebut berada di tangan pemerintah.

Dengan banyaknya kesalahan-kesalahan yang menurut pemerintah dalam hal ini sekretaris negara merupakan suatu hal yang teknis, namun suka atau tidak hal ini memojokkan dan memperlemah posisi pemerintah, dengan alasan apapun pemerintah tidak boleh membuat kesalahan dalam melakukan eksekusi final undang-undang tersebut (zero tolerance).

Dengan apa yang terjadi saat ini keberlangsungan Negara ini dipertaruhkan, namun logika dan nalar kita sebagai manusia mencoba diseret kedalam sebuah narasi pembenaran atas kesalahan yang telah dibuat, jika kita merujuk kepada statemen Mensesneg bahwa pemerintah mencoba menyempurnakan kesalahan-kesalahan yang telah terjadi pada undang-undang tersebut, yang menjadi pertanyaan apakah Undang-undang ini sudah final atau seperti apa ? Seharusnya undang-undang yang sudah di sahkan oleh DPR lalu berikan penomeran dan ditanda tangani oleh pemerintah dalam hal ini oleh Jokowi Dodo bersifat final dan mengikat, jika kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang memang benar-benar pengetikan ini bisa dimaklumi namun, ada beberapa pasal yang memang harus di pertanyakan secara subtansi apakah memang Undang-undang tersebut seperti ini atau seperti apa ?Langkah Selanjutnya Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemerintah menanggapi kondisi seperti ini, berbagai perdebatan pun menyeruak kepermukaan, namun pemerintah sepertinya gamang atas apa langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil, pemerintah tidak bisa serta merta melakukan perubahan penambahan dan pengurangan terhadap undang-undang yang sudah di undangkan.

Selain itu menyerahkan permasalahan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah yang tidak tepat karena Mahkamah Konstitusi tidak menangani kasus kesalahan teknis pengetikan Undang-undang seperti yang di katakana oleh pemerintah, yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah melakukan telaah jika terjadi sebuah kesalahan procedural atas sebuah Undang-undang dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 45.

Adapun wacana yang berkembang sekarang adalah dengan melakukan distribusi II Undang-undang Cipta Kerja, namun hal ini banyak dikritik oleh para Ahli Hukum Tata Negara karena dalam sistem kita tidak mengenal mekanisme distribusi II, adapun yurisprudensi atas beberapa Undang-undang yang menggunakan sistem distribusi II seperti Undang-undang perlindungan saksi merupak sebuah kesalahan dan ketidak tepatan, untuk itu kita tidak boleh melakukan kesalahan yang sama pada Undang-undang Cipta Kerja ini.

Jika merujuk terhadap Akademisi dan para Ilmuan yang berkecimpung dalam Hukum Tata Negara ada beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah yang sesuai dengan kontruksi sistem Hukum Tata Negara yang kita anut, yakni dengan melakukan Judicial Review terhadap Undang-undang tersebut, selanjutnya pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi dapat mengeluarkan Perpu pengganti Undang-undang atau yang terakhir dengan melakukan Executive Review untuk melakukan amandemen terhadap Undang-undang tersebut.

Harapan Pemerintah dan Rakyat Undang-undang cipta kerja yang digadang-gadang dan diharapkan oleh pemerintah akan menjadi sebuah warisan (legacy) pemerintah pada periode kali ini, namun kita lihat sepertinya masih jauh dari harapan, kesan terburu-buru dan tertutup dalam melahirkan Undang-undang ini sangat jelas dan kita rasakan bersama, ada kesan bahwa Undang-undang lahir secara premature dan tekanan kepada pemerintah untuk segera melahirkan Undang-undang ini, Terakhir saya mengutip Didik J Rachbini dalam teori ekonomi politik dan pilihan publik “seharusnya keputusan kolektif bersifat kontraktual dan tidak terpengaruh oleh kepentingan individu atau kelompok kepentingan tertentu yang tidak seharusnya berpengaruh dominan terhadap sebuah proses politik. Pemerintah semestinya menjadi produsen yang terbaik untuk memaksimumkan manfaat politik bagi masyarakat konstituen yang memilihnya, sebaliknya kelompok-kelompok kepentingan yang mewakili dirinya sendiri atau segelintir orang adalah faktor distortif dalam sebuah pasar politik”.

“Semoga pemerintah serius dan memberikan komitmenya yang baik terhadap masyarakat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>